Rabu, 24 Agustus 2016

Bertemu Eka Kurniawan di Bekas Gereja Belanda


Saya belum pernah ketemua Eka, bahkan jika dia sudah dua kali datang ke Makassar mengikuti Makassar International Writers Festival (MIWF). Kali pertama Eka berkunjung ke Makassar, saya sedang sekolah di Semarang. Kali kedua, saya sedang tergolek di kamar karena sakit. Tapi, mungkin juga kalau saya sehat, saya akan tetap memutuskan untuk tidak menemuinya. Maksud saya, kalau pun saya ke Fort Rotterdam, tempat MIWF digelar waktu itu, saya hanya akan melihatnya di kelas-kelas di mana dia jadi pembicara. Sungguh kikuk dan membingungkan buat saya menyapa orang lain yang saya yakin tidak mengenal saya, bahkan jika pun saya sendiri sudah mengikuti hampir semua tulisannya.

Tapi saya tidak kecewa juga melewatkan kelas Eka yang berharga itu di Makassar. Justru di negeri Belanda, saya berjumpa dengan Eka dengan cara yang bagi saya sebagai pembaca : menyenangkan.


Akhir pekan lalu, saya dan suami berkunjung ke Zwolle, kota yang tepat bersebelahan dengan tempat tinggal kami, Groningen. Hanya ada satu titik yang ingin kami kunjungi, Waanders In de Broeren. Itu adalah sebuah bangunan gereja tua yang sudah dialihfungsikan jadi toko buku.

Pintu Masuk Waanders in de Broeren (Kredit M.A.Bahar)

Awalnya, kami mengiranya sebagai perpustakaan. Menurut suami saya, barangkali perpustakaan itu dikonsep sebagai ruang untuk menyerap ilmu di tempat ibadah. Kan ilmu itu suci, jadi diambil dari tempat suci juga. Kesannya jadi kental buat ibadah kalau pengunjung sedang membaca. Baru membayangkan begitu saja, hati saya sudah buncah bahagia akan berkunjung ke sana.

Nanti sehari sebelum berangkat, setelah mencari-cari informasi lewat Google mengenai tempat itu, saya akhirnya tahu kalau itu bukan perpustakaan tapi toko buku. Tapi ini tidak begitu mengecewakan karena mengingat bahwa rupanya tempat itu adalah salah satu toko buku terunik di dunia. Bikin cemburunya, Zwolle malah dikenal sebagai kota industri yang aktif di negara ini. Salah seorang teman Indonesia yang sudah menetap di sana bercerita kalau pemerintah menyediakan toko buku sebagai salah satu fasilitas untuk para pekerja. Pengetahuan dianggap sebagai salah satu kebutuhan publik, yang tidak hanya milik pelajar saja.

Tampak Bagian Depan (Kredit M.A. Bahar)

Tampak Bagian Belakang (Kredit M.A. Bahar)

Tangga Menuju Lantai 4 (Kredit M.A. Bahar)

Di sanalah saya bertemu Eka Kurniawan. Pertama kali masuk, setelah mengambil beberapa foto, kami menuju rak buku khusus berbahasa Inggris. Adanya di sebelah kanan lantai 1.
 


Rak Khusus English Literature (Kredit M.A. Bahar)

Toko buku ini ada empat lantai, di sisi kiri, dan dua lantai di sisi kanan. Semuanya dijejali rak-rak buku. Selain toko buku, ada sedikit ruang untuk nongki-nongki cantik disertai penjual makanan kecil. Jadi setelah membeli buku, pengunjung bisa langsung membacanya di kantin tersebut.

Penampakan Rak Lantai 1 dan 2 Sebelah Kanan (Kredit M.A. Bahar)

Di jejeran buku berhasa Inggris bagian sastra, saya menemukan nama-nama raksasa sastra dunia dari zaman nenek moyang hingga zaman kekinian. Dari genre sastra kiri ke sastra kanan (kalau itu ada). Saya menemukan Ernest Hemingway dan Haruki Murakami, juga Marxim Gorky dan Paulo Coelho. Sayangnya saya tidak menemukan nama yang saya cari, Eka Kurniawan.

Setelah mencari di rak-rak yang ada di lantai dua, nama Eka masih tidak saya temukan. Waktu itu karena kebelet pipis, saya tidak menjajaki lantai tiga dan empat di bagian kiri gedung. Lagi pula di sana hanya ada buku dengan bahasa Belanda.

Tampak Lantai I-4 Kanan Bangunan; Semua Dipenuhi Rak Buku (Kredit M.A. Bahar)

Akhirnya saya memutuskan mencari di katalog elektornik yang tersedia. Nah kan! Ada Eka di gereja ini. Atau setidaknya, pernah ada nama Eka di sana. Saya selanjutnya masih ngotot mencari Eka di jejeran rak buku sastra, mana tahu terlewat sebelumnya, tetap saja tidak menemukannya.

Karya-karya Eka Kurniawan (Kredit M.A. Bahar)

Puas dengan hanya menemukan nama Eka di katalog, saya pindah ke nama lain yang juga tidak kurang familiarnya. Adalah Pramoedya Ananta Toer, yang jumlah bukunya tentu saja sudah jauh lebih banyak yang pernah mampir di toko buku tersebut.

***

Bahkan jika Eka tidak mengenal saya, pun mungkin tidak pernah tahu ada pembaca seperti saya yang hidup di belahan dunia ini, saya tetap bangga melihat namanya dan Pram ada di sana. Bukan hanya karena daya tarik toko buku tersebut, tapi karena negara tempat toko buku tersebut adalah negara yang tidak kurang tiga ratus tahun pernah mengangkangi Indonesia. Ketika negara yang pernah terjajah justru darinya berasal karya kebanggaan yang di pajang di negara yang pernah menjajahnya. Bolehlah saya, sebagai salah satu masyarakat Indonesia untuk sedikit mengangkat kepala, bahwa ada dua penulis kami yang tidak dapat diremehkan—meski keduanya lahir di negara yang tidak pernah mendukung atau bahkan pernah menyembunyikan (kita tidak pernah lupa pemusnahan karya-karya Pram) karya-karya keduanya.

Tentu saja, dengan kebanggaan tersebut saya sangat naïf. Saya bersembunyi di balik karya-karya penulis besar di negara saya, sementara saya sendiri belum melakukan apa-apa. Uh! Untuk sementara, mumpung masih Agustus, selamat ulang tahun kemerdekaan aja lah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar