Senin, 01 Agustus 2016

Tugas Kebaikan


Huft Huft Huft… selesailah sudah tugas saya menginput nilai mahasiswa-mahasiswa yang mengambil kelas yang saya ampu semester kemarin. Dua pekan pertama sejak kedatangan saya di Groningen, Netherlands, saya habiskan untuk mengerjakan tugas ini. Tidak semua waktu sih, maksud saya, waktu yang sedianya bisa saya gunakan untuk belajar teralihkan ke tugas administratif seperti ini. Lumayan juga, lima kelas dengan rerata 30 siswa per kelas.

Namun ya namun, ada kelegaan luar biasa bisa memeriksa satu-satu tugas akhir mahasiswa dan menemukan beberapa mahasiswa yang curang. Beberapa mahasiswa meng-copypaste tugas temannya dan atau mencomot langsung dari internet. Sudah saya wanti-wanti di kelas, juga di kertas ujian, utamakanlah kejujuran. Saya pikir, menjadi orang jujur meski dengan nilai pas-pasan jauh lebih baik daripada sejumlah nilai tinggi yang didapat dengan ketidakjujuran.

Memeriksa catatan satu semester ke belakang untuk memasukkan nilai Prilaku, Kehadiran, Keaktifan, Ujian Tengah Semester, dan Ujian Akhir Semester, bisa dibilang membuat saya sedikit harus memaksa diri melakukan tugas monoton dan super teliti seperti ini. Saya meng-copy tugas mahasiswa kemudian mem-paste-nya di salah satu aplikasi internet, dan yah ada beberapa yang ketahuan sama persis di internet. Itu saya lakukan pada hampir satu demi satu tugas mahasiswa. Hal ini karena saya ingin memeriksa hasil akhir mereka seadil dan seobjektif mungkin. Tidak adil dong, ada mahasiswa yang berusaha dengan jerih payah sendiri, dinilai sama dengan yang memberi contekan atau yang tinggal menyontek punya temannya? Dengan usaha seperti itu, saat saya mengirim nilai totalnya kepada mahasiswa sebelum saya kirim ke petugas admisi (agar mereka bisa melihat lebih dulu nilai masing-masing), masih banyak juga yang komplain dan tidak terima. Tentu saja berupa-rupa isi komplain tersebut. Ada yang legowo karena merasa bersalah memberi contekan. Ada pula yang aneh dan membingungkan: tidak pernah terdengar suaranya di kelas, kedapatan menyontek saat ujian dan meng-copypaste tugas akhir lalu protes kok dapat E. Saya hanya bisa mengurut dada. Mahasiswa ini, duh!


Serunya berhadapan dengan mahasiswa adalah sekali waktu berhadapan dengan mahasiswa yang masih kurang introspeksi diri, di waktu yang lain berhadapan dengan mahasiswa yang (menurut saya) tetap berusaha menanggapi dengan baik bahkan jika yang bersangkutan dapat E. Selain merasa bersalah, si mahasiswa juga sempat-sempatnya berdoa untuk kebaikan saya. Dengan demikian, saya dengan senang hati membalas surelnya, dan menyampaikan kekurangannya agar tidak terulang kembali di semester berikutnya.



Rampung membalas surel-surel mahasiswa yang berhak menngkomplain (beberapa saya ubah nilainya karena kesalahan terjadi pada saya dan beberapa yang lain tidak), saya mengerjakan tahap terakhir. Memeriksa tugas-tugas kebaikan mereka. Lima kelas dengan mahasiswa berjumlah tiga puluh setiap kelas, saya harus membaca satu-satu kisah-kisah yang mereka tuturkan saat berbuat kebaikan setiap pekan selama satu semester berlangsung. Ada yang mengerjakan hanya satu tugas kebaikan dan ada juga yang semangat mengerjakan tugas kebaikan setiap pekan.


Omong-omong, apa sih itu tugas kebaikan? Jadi, saya menyebutnya semacam tugas sunnah. Jika dikerjakan mendapat poin tambahan, jika tidak ya tidak mengapa. Setiap pekan, para mahasiswa bertugas melakukan menimal satu tugas kebaikan. Kemudian tugas tersebut diketik dan dikirim ke alamat surel saya. Diketik bisa di aplikasi word, bisa juga langsung di badan surel kalau mahasiswa pakai HP pintar, misalnya. Saya membebaskan mereka menggunakan aplikasi apa saja, tidak ada aturan pengetikan atau aturan penulisan. Saya mempersilakan mereka menulis kejadian saat mereka melakukan kebaikan dan apa yang mereka rasakan setelah melakukannya dengan bahasa sederhana yang mereka mampu.

Awalnya, banyak yang protes. “Kok kebaikan ditulis sih Bu?” atau “kebaikan kan harusnya si pelakunya saja yang tahu Bu”. Tapi bukankah hal-hal baik harus selalu diusahakan dan dibiasakan? Kira-kira begitu ajaran seorang dosen yang pernah saya ikuti kelasnya waktu kuliah di Universitas Hasanuddin dan juga memberi tugas kebaikan seperti yang saya lakukan sekarang. Ini tidak dalam rangka riya’ atau ujub diri. Tugas kebaikan hanya sedikit upaya mengaktualisasikan tugas pendidik untuk menemani mahasiswa berproses menjadi manusia, menyebar kebaikan kepada semesta. Kalau kata Pram, “tugas mendidik adalah tugas kemanusiaan”.

Tentu pula, di antara tugas-tugas kebaikan yang saya baca, ada yang tampak hanya sekadar formalitas belaka. Namun yang begitu membahagiakan adalah ada yang konsisten menulis tugas kebaikannya panjang lebar. Ada yang melakukan kebaikan yang sepele tapi sangat berarti. Mengembalikan dompet seseorang yang ketinggalan di gereja saat si mahasiswa sedang ibadah, misalnya. Ada juga yang bahkan barangkali saya sendiri tidak bisa lakukan. Meminjamkan teman uang untuk pembayaran SPP semester berjalan yang merupakan tabungannya untuk pembayaran semester depan. Oh, they are the lovely student, aren’t they?

Kredit : Alya Natami

Kredit : Windi Islamaetia

Akhirnya, dengan kebaikan-kebaikan yang konsisten itu, ada yang bisa lebih baik nilainya. Dari yang tadinya E berubah jadi D. Atau dari yang tadinya C+ berubah jadi B-. Lumayan kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar