Rabu, 14 September 2016

Membayangkan Perasaan Creswell dan Miller Saat Tembus 3.901 Kali Sitasi


Apa sih hebatnya artikel Creswell dan Miller yang diterbitkan penerbit jurnal lembaga kampus Ohio: Theory Into Practice, 39 (3), 124-130? Bahkan sependek ingatan saya dan sepanjang pembacaan saya, belum pernah saya menemukan dan membaca jurnal dari penerbit yang sama. Entah saking tidak bermutunya, atau justru saking sedikitnya bacaan yang telah saya habiskan. Tapi penulis amatiran mana sih yang mau disalahkan?

Artikel konsep dengan judul “Determining Validity in Qualitative Inquiry” ini dibuka dengan paragraf yang memaparkan banjirnya penelitian-penelitian sebelumnya yang senada dengan tema yang dibahas keduanya. Dengan kerendahan hati, Creswell dan Miller secara tersurat menyebutnya sebagai “flood the pages of books”. Tidak kurang dari tujuh rujukan ditunjukkan dalam satu kalimat saja. Namun dari sana, keduanya hendak membalikkan paparan tersebut dengan (kira-kira begini) : “eiitttts, tunggu dulu, meskipun sudah banjir referensi, selama ini mereka selalu punya standar berbeda untuk mengukur kredibilitas dan validitas penelitian kualitatif”. Dan di sanalah Creswell dan Miller mengisi celah, setelah dengan sengaja membentuknya, menawarkan gagasan baru: bagaimana kalau dibuat satu standar yang berlaku umum?

Creswell dan Miller menulis artikel ini dengan paduan kata yang sungguh memikat, menarik pembaca dan berusaha membuat pembaca yakin bahwa apa yang ditawarkan mereka memang sangat dibutuhkan. Lihat saja pada paragraf ketiga, tidak malu-malu ditulis dengan kalimat pembuka : “As helpful as they are…” (di paragraf yang ke empat, frase ‘helps researchers’ juga masih perlu untuk diulang). Lalu dilanjutkan dengan penjelasan kenapa artikelnya akan lebih membantu peneliti dibanding referensi yang sudah ada sebelumnya. Cukup dengan tiga paragraf pendek saja, dengan argumentasi yang padat dan kuat, Creswell dan Miller sudah menjelaskan apa pentingnya dan kenapa pembaca harus menyelesaikan artikel tersebut.

Dilanjutkan pada paragraf selanjutnya, sedikit penjelasan tentang apa-apa saja inti dari keseluruhan yang dibahasnya. Sialnya, keduanya sangat lihai mengolah alur. Pertama, keduanya memaparkan inti dari keseluruhan artikel. Kemudian menjelaskan dari mana mereka memulai lalu mengakhirinya. Boleh dibilang, alur yang dipakai bolak-balik dalam keteraturan yang terencana. Hebatnya lagi, penjelasan tentang apa isi keseluruhan artikel tadi dipaparkan tidak cukup sampai dua paragraf. Ah, bagaimana mereka bisa melakukan hal semacam ini?

Selanjutnya, pada paragraf kelima sebagai penutup dari bagian pendahuluan, Creswell dan Miller menyimpulkan, “we make the assumption that validity refers not to the data but to the inferences drawn from them”. Kesimpulan itu merujuk pada penelitian sebelumnya, yang artinya bukan ide yang dibangun dari artikel ini. Lalu apa sih gunanya artikel ini kalau toh tidak memiliki kesimpulan sendiri? Dengan kebingungan inilah, pembaca seperti saya ditarik untuk menghabiskan artikel ini sampai akhir. Dan dari sana pula kita tahu, kesimpulan kedua penulis terpapar di sepanjang pembahasan. Teknik menyebarkan kesimpulan yang pastinya harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

Cukup pada lima paragraf pembuka itu, cara Creswell dan Miller untuk membuka setiap kalimat agar bersambung dengan kalimat sebelumnya sudah dapat terlihat. Kata ganti selalu muncul pada awal paragraf, kecuali paragraf satu. Oleh karena tidak mungkin kata ganti berdiri sendiri, maka kata ganti tersebut secara otomatis merujuk pada paragraf sebelumnya, dan inilah yang menghubungkan antar paragraf. Jarang sekali Creswell dan Miller menggunakan kata hubung seperti “that is why, consequently, although that,…dll.”, pada awal paragraf. Justru, kata hubung seperti itu terselip di antara kalimat-kalimat dalam satu paragraf. Sepertinya memang, hubungan antar paragraf lebih kuat dengan menggunakan kata ganti. Satu kata ganti “they” saja misalnya (lihat pada paragraf tiga), telah mampu menggantikan subjek yang dibahas di kalimat panjang yang menutup paragraf sebelumnya. Kalimat ini sampai membutuhkan lima baris loh. Bayangkan, satu kata “they” menggantikan kalimat lima baris pada paragraf sebelumnya. Dan akhirnya, pertanyaan saya sebelumnya yang “bagaimana mereka bisa melakukan hal semacam ini?”, terjawab sudah.

Creswell dan Miller menulis artikel pendek saja. Tapi tidak ada kalimat yang tidak bunyi. Pembaca,  saya kira, harus cerdas-cerdas memahami artikel ini. Lihat saja pada tabel yang dibuat. Tabel tersebut merupakan susunan dari penjelasan panjang yang tertuang di pembahasan. Usaha untuk mengkotak-kotakkan atau memisahkan bagian-bagian dari cara mengukur kredibiltas sesuai asumsi dan pendekatan penelitian dalam tabel tersebut, tidak tertulis sedikit pun pada pembahasan. Apa yang ditulis pada pembahasan hanya penjelasan rincian terkait masing-masing isi tabel. Sekali lagi tanpa penjelasan hubungan isi kotak tabel yang satu dengan yang lain. Tapi, jika pembaca mau sedikit saja menaruh perhatian—bukankah setiap peneliti memang harus serius?—pada gambar tabel lalu mengkonfrimasi penjelasannya pada pembahasan, dengan mudah pembaca dapat mengerti hubungannya.

Menulis dengan gaya seperti ini, saya kira, lahir dari usaha keras untuk memahami taktik menulis ilmiah yang baik. Baik maksud saya, bukan merujuk pada data yang tervalidasi atau kesimpulan yang benar. Kita tahu, setiap penelitian memang wajib memiliki keduanya. Namun, kualitas tulisan ilmiah yang tidak membosankan dan dikerjakan dengan serius, seperti teknik mengolah kalimat, hubungan antar pargaraf, menaktisi alur, hingga yang paling tidak terpikirkan: membuat tabel berbicara dan punya peran penting dalam sebuah artikel, saya pikir jarang ditemukan untuk saat ini. Dengan hasil secemerlang itu, bahkan jika pun misalnya benar artikel ini diterbitkan oleh penerbit yang tidak keren, saya kira tidak mengherankan jika sampai hari ini tetap menghiasi penjelasan pada bagian metode di berbagai artikel penelitian dengan pendekatan kualitatif.

***

Setelah tiga tahun mempelajari dengan serius metode penelitian kualitatif, dan oleh karena itu sudah sering menemukan nama Creswell dan Miller di artikel-artikel kualitatif, baru sehari yang lalu saya membaca dan menamatkannya semalaman. Tentu bukan tanpa alasan kenapa akhirnya saya mau membacanya. Ini karena dua artikel berturut-turut yang saya baca sebagai referensi utama penelitian saya, menyebut nama Creswell dan Miller secara berulang-ulang. Sebagai penulis pemula yang sedang tertatih-tatih belajar dan akhirnya tidak ingin melewatkan tulisan-tulisan hebat untuk dipelajari, saya tentu saja langsung mengunduh dan menitip pada suami untuk di-print di kampusnya. Maklum, saya belum lagi jadi mahasiswa dan urusan print-menge-print di Groningen hanya tersedia di kampus. Bagi para mahasiswa PhD seperti suami saya, mereka dibekali kartu yang dapat digunakan untuk mengakses mesin print secara gratis. Dalam hal ini, saya pasti lebih memilih membaca kertas daripada berhadapan dengan layar laptop seharian. Lagipula kan gratis. *Teteeeeup.

Enam belas tahun berlalu setelah artikel tersebut terbit. Tepat saat saya sedang membaca artikel Creswell dan Miller ini, saya coba mengecek di Google Cendekia berapa jumlah sitasinya. Angka 3.901 muncul dari Google Cendekia. Lalu apa kabar yang tidak terdeteksi Google Cendekia? Angkanya bisa lebih besar tentu saja.


Satu lagi, menjawab judul tulisan ini, jika pertanyaan itu sampai pada Creswell dan Miller, kira-kira kita sudah dapat membayangkan reaksi mereka. Selain bahagia, di pikiran saya, mereka juga akan dengan santai bilang “oh dulu kami memang kerja keras menulis untuk kualitas sehebat itu kok”. Artinya? Penulis seperti saya, yang masih bocah ingusan dan belum belajar dengan keras malah mengharap publikasi di level internasional apalagi tersitasi hingga empat ribuan, silakan bangun dari tidur nyenyak Anda. Belajar dulu yang benar!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar