Senin, 13 Februari 2017

Hidup di Dalam Tempurung


Kalau disuruh pilih tidur di rumah atau jalan-jalan, saya akan lebih memilih tidur di rumah saja. Saya lebih suka di rumah, intinya. Hanya soal pilihan dan kesukaan saja sebenarnya. Mungkin karena kebiasaan dari kecil yang diwariskan orang tua, sepulang sekolah membekam di rumah. Bikin apa sih di rumah? Oh, sebagai anak rumah, saya bisa memasak, membaca, dan tidur sepuas-puas yang saya suka. Mungkin bagi orang-orang yang suka jalan-jalan lain lagi, dan punya alasan-alasannya sendiri kenapa lebih menikmati sensasi melihat bangunan, pemandangan, dan atau bertemu banyak orang. Bagaimana pun, tiap orang punya preferensi yang berbeda-beda.

Setelah membaca buku biografi Benedict Anderson, saya jadi kepikiran sendiri, sehatkah gaya hidup saya? Beberapa bulan lalu, waktu seorang mahasiswa dari Prancis tinggal di rumah kami, dia sempat menuduh gaya hidup saya tragis, katakanlah begitu. Katanya, bukan begitu caranya hidup (tinggal di kamar dan tidak kemana-mana). Waktu itu memang, saya sedang tidak sehat selama berbulan-bulan, tapi merasa stress dengan tinggal di rumah, rasanya tidak juga. Menghabiskan waktu berbulan-bulan di kamar tidak begitu buruk bagi saya. Saya bisa bayangkan, bagaimana pikiran si mahasiswa tadi membimbingnya untuk menuduh gaya hidup saya yang salah barangkali karena dibandingkan dengan bagaimana dia melihat cara hidup yang “benar” selama ini. Keluar olahraga, akhir pekan keluar kota, bertemu teman-teman untuk kongkow-kongkow, dan masuk ke kampus pada pagi hari atau di perpustakaan seharian saat dikejar tenggat pegumpulan tugas kuliah.

Begitulah. Kita kan memang kebanyakan melihat orang lain, bahkan parahnya melakukan penilaian, dari kaca mata kita sendiri. Ini loh salah, itu loh salah, indikatornya dari mana? Dari yang kita pahami semata? Sungguh menjengkelkan bukan saat bertemu atau mengobrol dengan orang yang sudah dari awal ngotot sama pemikirannya? Menutup diri dengan pemikiran orang lain.

Buku Ben, saya kira, tidak menitikberatkna persoalan tempat dan saya sebagai “anak rumah” cukup lega mengetahui ini. Meskipun Ben sendiri banyak bercerita tentang bagaimana dia berpindah-pindah negara dan dari setiap tempat ia belajar berempati dengan perbedaan. Namun, yang jauh lebih penting adalah titik yang ada di batok kelapa kita. Bagaimana kita mau terbuka dan belajar memahami orang lain dengan pikiran terbuka.


Berpikir bahwa kita yang paling benar, barangkali inilah yang dimaksud Ben dengan membuat cangkang tempurung kita tertutup. Tiada lain tiada bukan, kita sendirilah yang tanpa sadar melakukannya.

Kita juga mungkin kerap menemukan diri kita, yang sudah jauh melancong ke mana-mana, sudah berfoto dengan latar negara dan daerah yang berbeda-beda, dan ironisnya tidak pernah belajar apa-apa dari tempat-tempat yang kita datangi. Tidak pernah mengajak pikiran dan hati kita untuk terbuka dan mau memahami perbedaan. Kita asyik-masyuk menuduh orang lain yang berbeda itu salah dan kita yang paling benar. Kita tidak pernah mau keluar, dan hidup di luar tempurung yang kita buat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar