Selasa, 23 Mei 2017

Ledakan Gaya Parenting yang Diiklankan Kirana dan Ibunya


Mayesa Hafsah Kirana namanya, balita yang saat ini tengah banyak digemari pengguna media sosial di Instagram. Bukan main, pengikutnya telah berjumlah 762 ribu saat saya tengah menulis artikel ini. Jumlah pengikut yang bisa memenuhi tiga puluh kali Stadion Mattoanging (Andi Mattalatta) Makassar. Bukan hanya ibu-ibu muda, gadis-gadis remaja hingga bapak-bapak menjadi barisan setia pengikut dan penikmat video-video dan foto-foto dari Kirana yang diunggah oleh ibunya sendiri, Retno Hening Palupi.

Apa pasal Kirana digemari dan belakangan menjadi tren di dunia maya? Lebih dari sekadar lucu dengan pipi bulatnya yang menggemaskan, di usianya yang masih di bawah lima tahun, Kirana telah banyak menyerap kata-kata yang sepertinya masih sulit diucapkan oleh anak-anak seusianya. Kirana mampu melafalkan berbagai jenis lagu berbahasa Inggris dan Indonesia, lengkap dengan gerakan-gerakannya. Di usia yang kurang dari dua tahun, anak kecil pengidap eksema ini juga telah bisa menirukan berbagai jenis suara hewan dan menyebut nama-nama hewan tersebut dalam bahasa Inggris juga Indonesia.

Selain kemampuan ekspresi bahasanya yang mengagumkan bagi banyak orang, kemampuan empati yang dimilikinya juga tumbuh dengan baik. Salah satu videonya saat berusia lebih dari dua tahun, misalnya, saat dia tengah melihat seorang laki-laki bekerja memperbaiki jalan di depan tempat tinggalnya, dia bilang ke ibunya dengan patahan kata yang belum begitu jelas, “Ibu… sian [kasihan] omnya. Omnya nas [omnya panas]. Mau sih juzzz [Mau kasih jus].” Hati siapa yang tidak meleleh mendengar anak bayi mengoceh dan mengutarakan kepeduliannya terhadap orang lain yang bahkan tidak dikenalnya?

Di banyak video-videonya yang lain, Kirana juga terlihat cepat akrab dengan sebayanya. Dalam videonya baru-baru ini, dia terlihat mendekati seorang anak balita lain yang sedang menangis. Retno, sang ibu kemudian menegur Kirana yang berjalan mendekati si anak yang menangis. Ditegur oleh sang ibu, Kirana berhenti lalu bertanya kepada ibunya, “kawan ngapa?... [kenapa kawan itu?]” (menunjuk balita yang menangis). “Dimarahi dia sama ibunya, sedih dia”, jawab Retno dan kemudian diulang oleh Kirana “Oh, dimarahi dia. Sedih dia”. Dari pertanyaan Kirana saja, kita jadi tahu, dia melihat setiap balita baru yang sepantaran dirinya sebagai kawan, bukan sebagai lawan atau orang asing yang harus ditakuti. Selanjutnya, dia melihat kesedihan si kawan tadi sebagai sebuah masalah yang membuat dia mendekat dan ingin tahu. Kenapa sang kawan bersedih? Awal mula tumbuhnya kepedulian pada orang lain. Sesuatu yang rasa-rasanya kering justru di dunia orang dewasa saat ini. Tengok saja kanal-kanal dunia maya kita.

Tapi dari mana semua nilai-nilai baik itu didapatkan Kirana? Dengan mudah kita bisa menemukan jawaban itu: dari kedua orang tuanya, terutama Ibunya. Berbekal ilmu parenting yang terasah saat menjadi guru di sebuah pre-school di Jogja, Retno membentuk Kirana tumbuh sebagai balita ceria dan penuh empati. Retno menghabiskan seluruh waktunya bersama Kirana di rumah, dengan menjadi ibu rumah tangga tanpa bekerja atau bersekolah lanjut. Tentu tidak berarti juga bahwa perempuan yang berkegiatan di luar akan tidak mungkin untuk melakukan pengasuhan yang lebih baik.

Cara-cara yang dipilih Retno berinteraksi dengan Kirana-lah yang barangkali membedakannya dengan ibu-ibu yang lain. Tumpukan video Kirana dapat menjelaskan dengan sendirinya bahwa obrolan antara ibu dan anak dengan sendirinya meningkatkan kemampuan berbahasa Kirana. Dia banyak meniru kalimat-kalimat ibunya, bahkan meski belum sepenuhnya dipahami oleh anak seusianya.

Seberapa cepat anak-anak mulai belajar menyebut kata-kata tergantung dari kemampuan “phoenetic awareness” yang dimilikinya. Demikian hasil penelitian yang diungkapkan seorang professor dari Stanford yang kemudian diulas Susan Gregory Thomas dalam bukunya, ‘Buy, Buy Baby: How Consumer Culture Manipulates Parents and Harms Young Minds”. Sebelum seorang bayi seperti Kirana dapat membaca sebuah kalimat, dia dapat menyebutkan kata-kata tersebut dari suara-suara yang paling berkesan yang diterimanya. Seperti inilah anak-anak belajar bahasa. Berawal dari pengulangan-pengulangan yang tercerap di alam bawah sadarnya, lalu kemudian diulang-ulangi hingga jelas penyebutannya.

Ketika Kirana mendengar kata “sorry” dan “thank you” secara intens dari ibunya, maka dia akan dengan mudah mengingatnya lalu mengulangnya. Kata Retno, dalam salah satu wawancara atau tulisannya, dia sering mengajak Kirana bermain untuk dengan sengaja meminta mainannya lalu mengucapkan kepadanya “thank you” dan “sorry” jika dia melakukan kesalahan. Inilah “phoenetic awareness”. Kemampuan yang hanya bisa dibangun dari interaksi antara balita dengan orang-orang hidup di sekitarnya. Bukan dari televisi, juga bukan dari video-video Youtube.

Beberapa waktu ke depan, gaya parenting ala Ibu Retno Hening, sepertinya akan jadi teladan di kalangan ibu-ibu. Buku yang ditulisnya, ‘Happy Little Soul: Belajar Memahami Anak dengan Penuh Cinta’, bahkan telah dicetak ulang hingga enam kali tidak lebih dari dua bulan setelah terbit pertama kali pada awal April lalu (2017).

Meski demikian, dalam pandangan saya, setiap ibu tidak harus memaksa anak-anaknya untuk jadi sama atau mencipta Kirana-kirana berikutnya. Mengikuti nilai-nilai baik yang diajarkan Retno Hening kepada anaknya adalah baik, tapi membentuk anak-anak kita untuk sama dengan Kirana, apalagi jika sampai pada tahap membanding-bandingkan dengan kemampuan Kirana tentu akan berujung melelahkan.


Setiap anak punya kemampuan berbeda-beda, tumbuh dan hidup di lingkungan berbeda, dalam masa yang berbeda pula. Tapi kalau pun sudah ada yang terlanjur melakukannya, mengutip kata Kirana, “nda papa, itu namanya belajar!”. Sesungguhnya setiap anak merupakan pemberian istimewa dari-Nya. Mereka terlahir spesial dengan potensinya masing-masing.

Rubrik Opini, Koran Fajar (Sabtu, 23 Mei 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar