Jumat, 09 Juni 2017

Menghitung Tingkat Kepuasan Ritus Ramadan


Setiap tubuh butuh makanan untuk terus bertahan hidup. Sebagai umat beragama, pemeluknya meyakini bahwa bukan hanya badan dan otak yang memerlukan makanan untuk terus bertumbuh dan bertahan dengan hidup. Roh juga.

Konsumsi roh jelas berbeda dengan fisik. Jiwa manusia, sebagaimana sifatnya yang non-materi, juga memerlukan asupan yang tidak berbentuk fisik. Salah satu penumbuhnya adalah ritus ibadah yang dilakukan dengan penuh makna, yang pada akhirnya makna akan memuaskan batin pemiliknya.

Dalam penanggalan agama Islam, bulan ke-9 hijriah diyakini sebagai bulan dihimpunnya setiap kebaikan dengan nilai berlipat-lipat di sisi Ilahi. Berangkat dari motivasi inilah, mayoritas muslim menyambutnya dengan gegap gempita. Keriangan yang mendalam atau sekadar meramaikan pesta simulakra iklan-iklan produk Ramadan di televisi, tiap penyambut memilih caranya.

Tapi kemudian kita tahu dan belajar dari tahun ke tahun, bahwa semangat beribadah itu kebanyakan hanya menyeruak di awal kedatangannya saja. Setidaknya begitu kesimpulan sederhana yang tidak terelak secara kasat mata.

Mengamati kecenderungan ini membuat ingatan saya terpanggil menuju abad awal kemunculan ilmu ekonomi. Adalah marginal utility, yang dalam padanan bahasa dikenal dengan konsep batas kepuasan. Margin yang berarti batas dan utility yang merujuk pada kepuasan konsumen.

Ide tentang bagaimana manusia mengukur tingkat kepuasannya terhadap suatu produk ini pertama kali saya jumpai lewat buku wajib Mata Pelajaran Ekonomi saat berada di bangku tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Konsep marginal utility adalah salah satu yang paling melekat dalam ingatan saya hingga kini, saat tanpa terasa delapan tahun sudah saya melepas seragam SMA. Namun, dulu saya mengenalnya sebagai ide autentik yang dipelopori oleh seorang ekonom berkebangsaan Inggris, Alfred Marshal (1842-1924). Pengenalan saya tentang konsep kepuasan manusia terhadap barang dan jasa tersebut akhirnya sedikit berubah, meski tidak mendasar. Perubahan ini terjadi setelah membaca buku asyik tulisan akademisi dari London School of Economics, The United of Kingdom, Niall Kishtainy.

Buku yang baru saja terbit awal tahun 2017 tersebut membahas sejarah perkembangan ilmu ekonomi hingga kini—meskipun sejauh yang saya baca, meminjam istilah Edward Said, buku ini berkiblat dari sejarah ‘barat’ dan memandang timur sebagai yang pinggir. Kishtainy, sebagai pengajar di bidang sejarah ekonomi, menerangjelaskan bahwa sebenarnya konsep marginal utility dibangun oleh ekonom Inggris yang lain. Namanya William Jevons (1835-1882). Marshall hanya orang berikutnya yang turut membangun konsep marginal utility setelah kematian Jevon, begitu tulis Kishtainy.

Tapi bagaimana pun sejarah dan politik pencatatan membentuk kedua nama tersebut, baik Jevon maupun Marshall sama-sama berdiri pada kesepakatan bahwa marginal utility setiap manusia sebagai manusia ekonomi (homo-economicus) bersifat tidak tetap. Pada suatu titik bahkan akan mengalami penurunan.

Sesuka apa pun saya pada cokelat merek A, misalnya, jika dalam satu waktu saya mengkonsumsinya terus-menerus, akhirnya tingkat kepuasan saya akan berkurang, atau malah bosan. Pertama-tama, tingkat kepuasan saya mengemil cokelat bisa saja delapan (tingkat 1-10). Pada bungkusan cokelat kedua, lidah saya mengenalinya dan makin merasakan enaknya, maka kepuasan saya bertambah menjadi sembilan. Sampai akhirnya di bungkusan selanjutnya titik kepuasan saya mulai menurun. Jika saya belum juga berhenti meski sudah tidak merasakan kenikmatan dalam gigitan cokelat tersebut, pada titik itulah kepuasan terhadap konsumsi saya berada di bawah ambang batas normal. Atau dalam gambar kurva marginal utility-nya, nilai kepuasan itu telah berada di titik-titik bagian kanan bawah kurva. Minus.

Pertanyaannya sekarang, apakah konsep yang sama dapat terjadi pada cara manusia mengasupi roh? Terutama jika kita kembali mengamati bagaimana muslim beribadah sepanjang bulan Ramadan? Apakah kecenderungan euforia awal yang selanjutnya semakin menurun pada pertengahan bulan bahkan cenderung kehilangan makna sebagai bulan spesial di akhir Ramadan, dengan sendirinya membenarkan bahwa konsep marginal utility juga berlaku dalam cara kita ‘bertransaksi’ dengan Ilahi?

Ketika disandarkan dengan doa yang dinukilkan dalam Hadits Riwayat Tirmidzi 3522, Ahmad 4/302 dan al-Hakim 1/525 dalam Shohih Sunan Tirmidzi III (2792) yang mengangkat doa “yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbi ‘ala diinik” (Wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu), maka dengan sederhana dapat disimpulkan bahwa tingkat kepuasan manusia dalam mengkonsumsi ritus ibadah untuk rohnya sangat bisa naik. Juga turun. Mudah terbolak-balik. Dengan demikian, apakah Jevons dan Marshall sedikit keliru bahwa ternyata ide tentang marginal utility tidak hanya sejalan dengan konsep manusia sebagai manusia ekonomi namun juga sebagai manusia beragama?

Tunggu dulu! Hal ini masih bisa didiskusikan kembali tersebab dua hal. Pertama, doa meminta ditetapkan hati pada kecondongan beragama tersebut belandaskan kepasrahan manusia sebagai hamba. Doa tersebut berdiri di atas keyakinan bahwa hanya dan hanya Tuhan saja yang pada akhirnya menentukan pergerakan hati manusia.

Namun demikian, kepasrahan akan kuasa Tuhan tentulah dengan syarat telah didahului akumulasi usaha yang sungguh-sungguh. Maka sejauh mana usaha menjaga konsistensi ibadah Ramadan, juga ikut andil dalam menggerakkan garis marginal utility manusia yang bersangkutan. Sebagaimana dalam Al-Quran: tidak akan berubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengusahakan perubahan yang ada pada diri mereka (Al Quran Surah Ar-Ra’d: 11).

Kedua, meminjam istilah Prof. Quraish Shihab, sebaik-baik transaksi adalah dengan Tuhan. Adam Smith, David Ricardo dan para pengikutnya percaya bahwa penjual dan pembeli senantiasa digerakkan oleh kepentingan pribadinya. Dan kita tahu, Dia tidak pernah butuh penghambaan untuk menjadi sempurna.


Jika ibadah Ramadan adalah bentuk transaksi untuk mengambil hati Tuhan, meminta perhatian-Nya sembari mengasupi roh sendiri, maka tingkat kepuasan itu mungkinkah dapat berkurang? Bukankah Dia yang ketika manusia mendekati-Nya dengan berjalan maka Dia datang dengan berlari?

Rubrik Opini, Koran Fajar (Sabtu, 09 Juni 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar